💕Menutup tahun, mari kita bicara cinta 💕
Sering menemui pasangan-pasangan di ambang perceraian, membuat saya jadi bertanya-tanya : Cinta, dapatkah bertahan? Apakah dua insan dapat saling mencintai sepanjang hidup mereka?
Didorong rasa penasaran, saya datangi pasangan-pasangan lansia yang saya temui. Sebagian di antaranya ada yang baru bertemu di usia senja, jadi masih hangat-hangatnya hubungan.
Yups, selamat datang di Perancis, cinta bersemi di usia 75 tahun Cinta hadir di mana-mana dan kapan saja 😍. Tubuh ringkih, jemari keriput, rambut putih (atau tanpa rambut), tapi senyum manis bahagia, saling memandang penuh gairah, aih aih 😘.
Perhatian saya lebih tertuju pada pasangan yang sudah hidup bersama sejak muda. Saya bertemu 25 pasangan yang sudah bersama selama kurang lebih 50-60 tahun. Wow, lama sekali ya.
Dengan semangat, mereka menceritakan perjalanan kisah cinta mereka, mulai dari bagaimana mereka bertemu, memutuskan untuk hidup bersama dan membentuk keluarga, dan tetap saling mencintai hingga saat ini.
Ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan dari percakapan kami ini.
Pertama, setiap pasangan punya persoalannya masing-masing. Tetapi yang membedakan pasangan yang akhirnya bertahan atau tidak adalah cara mereka menyelesaikan persoalan ini.
Mereka membagikan pertengkaran-pertengkaran “kecil” akibat perbedaan karakter di antara mereka. Mereka juga menceritakan kegetiran-kegetiran hidup yang mereka alami : masalah keuangan, anak yang menderita penyakit tertentu (fisik dan atau mental), orangtua/mertua yang “beracun” yang sangat mengganggu kehidupan rumah tangga mereka, kecelakaan yang dialami salah satu pasangan yang membuatnya kehilangan anggota tubuh, stroke pada salah satu pasangan, dan juga perselingkuhan suami/istri.
Menariknya adalah bahwa apa pun persoalan mereka, mereka tetap terikat dalam satu tujuan bersama : Mengatasi masalah ini bersama-sama untuk tetap bersama-sama. Perpisahan itu sendiri tidak pernah terbersit dalam pikiran mereka saat mereka bertengkar.
Maksudnya cinta tidak pernah berubah, kita dapat selalu mencintai pasangan kita. Tetapi gairah cinta itu sendiri memang dapat naik dan turun. Dan itu normal, wajar, tidak masalah. Jika kita sadar akan hal ini, kita tidak akan berpikir bahwa kita tidak lagi mencintai pasangan kita ketika gairah kita sedang menurun. Kita tidak akan selalu dalam mode “jatuh cinta” pada pasangan kita, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak lagi mencintainya. Dan sewaktu-waktu kita juga dapat merasa “jatuh cinta” lagi pada pasangan kita.
Momen-momen “jatuh cinta lagi” ini menurut mereka perlu diciptakan dan dapat diciptakan. Kadang juga tercipta dengan sendirinya, seperti saat pesta ulang tahun perkawinan, saat cucu lahir yang menjadikan mereka sebagai kakek/nenek, atau ketika mereka baru saja bertengkar hebat (konflik tidak selalu berdampak negatif toh).
Ketiga, cinta bertranformasi. Proses perjalanan hubungan pasangan-pasangan ini kurang lebih sama. Mereka bertemu, jatuh cinta, lantas perlahan cinta mengalami transformasi, menjadi bentuk kepedulian, afeksi, kasih sayang.
Di hari tua ini, mereka masih saling mengusap lembut tangan, pipi, rambut. Saya perhatikan di taman, mereka sesekali saling memandang, tersenyum, dan salah satu meletakkan kepalanya di bahu pasangan.
Apakah hati masih berdesir ketika bersentuhan? Ketika saya tanyakan ini, mereka tertawa, dan mengaku tidak ada desiran dalam artian hasrat seksual seperti ingin bercumbu. Tetapi mereka merasakan semacam desiran yang sekejap menghangatkan jiwa, yang seketika mereka merasa beruntung dapat saling memiliki dan mencintai hingga hari ini. Oow, indahnya 😊
Jangan samakan cinta dengan gairah
Tulisan dimodifikasi pada tanggal 29 April 2020
Kredit Foto : Jupiter
Pingback: Jika Kesetiaan Adalah Sebuah Prinsip – CATATAN ESTER