Kusadar kini ku begitu rapuh
Kukecup kelopak matanya di atas kelopak matamu
Kusentuh bibirnya temukan manis ciummu
Kuberbaring di dadanya dengarkan detak jantungmu
Kupeluk tubuhnya rasakan hangat kau memelukku
Kutertawa dengannya mengenang candamu
Kumemakinya ratapi kisah kau dan aku
Kucurigai dia atas pengkhianatanmu
Kucemburui dia karena ketidaksetiaanmu
Ku menangis di bahunya letih menanti dirimu
Perlahan
Kurindukan dia sambil merindukanmu
Kucintai dia sambil tetap mencintaimu
Aku bercermin hari ini, kekasihku
Tak lagi kukenal diriku
Kau meremukkanku
Dia merekatkanku
Aku rapuh
Kredit foto : Milan Popovic@unsplash.com
Setiap orang pada dasarnya rapuh, sehingga kita dapat belajar menghargai kehidupan secara utuh :).
LikeLike
iya bener kt mas cahya 🙂
LikeLike
terrrr… haha gw kok menemukan blog lu tidak sengaja.. hihihi.. gw link ke punya gw yaaa.. vididisini.blogspot.com…
vidia
LikeLike
haha, okaaay. blog elo keren, vid 🙂
LikeLike
Adakah rujukan empiris tentang siapa “dia” dan “kamu” dalam puisi ini?
LikeLike
taela pertanyaannya :p
udah tlg jawab aja koment nya Didin ya di tulisannya mas Donny 🙂
LikeLike
Adakah rujukan empiris puisi ini? Siapa “aku” dan “kamu” itu?
LikeLike
Puisimu ini sarat pesan, mirip prosa, protes, pemberontakan. Kamu masih menunggangi kata dengan makna. Kalau kau sudah membebaskan kata dari makna, kau akan hasilkan puisi.
LikeLike
itu yg aku belom bisa 😦 jd utk smntr hslnya kyk gini 😉
LikeLike
Puisi yg penuh gelora…sangat misterius tapi penuh dengan emosi di dalamnya…gud job and i like it ! 🙂
nb : puisi adalah salah satu wujud bahasa jiwa, bukan sekedar memenuhi kaedah teori…let your soul speak loud…
LikeLike
thank you, Hendi 🙂
LikeLike